Minggu, 22 November 2009

NEGARA HUKUM

KAITAN DEMOKRASI DENGAN NEGARA HUKUM
Lima gugus ciri hakiki dari negara demokrasi menurut Franz Magnis Suseno :
• Negara hukum
• Pemerintah di bawah kontrol nyata masyarakat
• Pemilihan umum yang bebas
• Prinsip mayoritas
• Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis
Hubungan antara negara hukum dan demokrasi dapat dinyatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum. Namun, negara hukum belum tentu negara demokrasi
Menjadi negara hukum belum tentu telah menjadi negara demokrasi. Masih dibutuhkan syarat-syarat di luar negara hukum agar dapat dinyatakan sebagai negara demokrasi seperti dengan adanya pemilihan umum, kebebasan berpendapat, dsb. Sebagaimana yang dikemukakan Mirima Budiardjo dalam Franz Magnis Suseno (1997) yang menyatakan bahwa "demokrasi konstitusional" pertama-tama merupakan Rechtsstaat.

NEGARA HUKUM

PERWUJUDAN NEGARA HUKUM DI INDONESIA
Meskipun dalam naskah UUD 1945 yang asli tidak ditemukan istilah negara hukum tetapi pencatuman beberapa kalimat dalam Penjelasan merupakan penegasan kalau Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, ciri-ciri umum negara hukum dapat ditemukan dalam UUD 1945. Pertama, pengakuan terhadap hak-hak dan kewajiban warga negara. Kedua, adanya pembagian kekuasaan. Dengan adanya lembaga-lembaga negara menunjukan adanya pembagian kekuasaan. Ketiga, setiap perbuatan atau tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan undang-undang. Keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang bebas.
Jimly Asshiddiqie menyampaikan empat prinsip yang secara bersama-sama merupakan ciri-ciri pokok konsep negara hukum (rechtsstaat) yang dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945 yaitu:
Pembatasan kekuasaan diatur seperti dengan dirumuskannya prinsip pembagian kekuasaan yang tercermin dalam struktur kelembagaan negara baik vertikal maupun horizontal, ide perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak warga-negara, asas legalitas dan prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, prinsip peradilan bebas yang tidak memihak, dan bahkan kemudian dirumuskan pula ide peradilan administrasi untuk memungkinkan warganegara menuntut hak-haknya atas kekuasaan publik.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pemikiran tentang negara hukum pertama-tama berkembang di Eropa. Oleh karena itu, perlu juga mengaitkan pembahasan mengenai negara hukum ini dengan keadaan masyarakat di sana. Teori hukum sendiri secara umum memang tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat tententu. Suatu teori hukum yang terlepas dari konteks masyarakatnya akan menumbuhkan apa yang di dalam kepustakaan Jerman dituangkan melalui ungkapan: Rechtslehre ohne Recht atau teori hukum tanpa kenyataan (keadilan). Tata hukum yang ditumbuhkan berdasarkan nalar hukum seperti itu disebut: Machtloze Normlogiek atau tata hukum tanpa keadilan ataupun kewibawaan. Contoh pembahasan mengenai hal ini adalah penjelasan Soepomo pada rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pada saat itu Soepomo mengemukakan bahwa ada dua cara pandang yang penting untuk melihat hubungan masyarakat dan orang seorang. Pertama ialah cara pandang individualistik atau asas perseorangan yang lebih mementingkan perseorangan daripada organisasi atau masyarakat. Cara pan¬dang ini mendasari teori-teori di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Kedua ialah cara pandang integralistik atau asas kekeluargaan yang mengutamakan masyarakat daripada perseorangan.
Menurut Soepomo, kedua cara tersebut tidak sesuai dengan cara pandang Indonesia. Cara pandang tentang Negara Hukum di Eropa Barat tidak dapat dijadikan dasar (bouwstenen) dalam membentuk konsep Negara Hukum Indonesia. Konsep Negara Hukum Barat hanya sebagai alat perbandingan dalam membentuk konsep Negara Hukum Indonesia. Oleh karena itu, meskipun dalam Penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, namun menurut Muhammad Tahir Azhary konsep rechtsstaat yang dianut Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum sendiri yaitu Negara Hukum Pancasila sendiri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; (2) Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) Kebebasan beragama dalam arti positip; (4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5) Asas kekeluargaan dan kerukunan. Adapun unsur-unsur pokok Negara Hukum RI adalah: (1) Pancasila; (2) MPR; (3) Sistem konstitusi; (4) Persamaan; dan (5) Peradilan bebas.
Terhadap pendapat di atas perlu diberikan catatan sehubungan dengan peranan MPR yang sudah berubah setelah perubahan UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945 memang MPR mempunyai peranan yang lebih penting dari pada lembaga-lembaga negara lain sehingga dikatakan sebagai lembaga negara tertinggi. Akan tetapi, peran itu sudah sangat berkurang setelah perubahan UUD 1945, antara lain MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak lagi dapat dikatakan berkedudukan lebih tinggi dari pada lembaga negara lain.
Perbincangan mengenai negara hukum mencakup hubungan antara hukum dan kekuasaaan. Apakah kekuasaan tunduk pada hukum atau hukum tunduk pada kekuasaan? Menurut cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang bertekad menghapuskan penjajahan dari muka bumi, berikut segala akibatnya, yang diinginkan adalah bahwa Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum di mana kekuasaan tunduk pada hukum.
Cita-cita perjuangan sendiri berhubungan dengan cita hukum. Adapun yang dimaksudkan cita hukum adalah cita hukum (Rechtsidee, Bel.) dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, suatu republik kerakyatan (demokratik) yang didirikan oleh pejuang-pejuang bangsa dengan semboyan “… dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Cita-cita ini dirumuskan secara singkat berarti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum.
Ciri pokok dari cita hukum Negara Republik Indonesia adalah kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada hukum. Secara popular dikatakan bahwa negara hukum adalah negara berdasarkan hukum, di mana kekuasaan tunduk pada hukum. Prinsip-prinsip lain yang berkaitan dengan prinsip pokok di atas dan salah satu yang terpenting adalah bahwa dalam negara hukum semua orang sama di hadapan hukum. Dikatakan secara lain ini berarti bahwa hukum memperlakukan semua orang sama tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama, kedudukan sosial, dan kekayaan.
Terhadap pendapat Mochtar Kusumaatmaadja dan B Arief Sidharta tersebut perlu diberikan sedikit catatan agar tidak menimbulkan keraguan bahkan kesalahan dalam penerapan. Persamaan di hadapan hukum tidak dapat diartikan tidak boleh lagi ada perbedaan perlakuan. Dalam hal-hal tertentu tetap mesti ada perbedaan perlakuan. Sebagai contoh, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sudah sepatutnya orang yang mempunyai kekayaan lebih banyak dibebani kewajiban yang lebih besar. Kenyataan yang terjadi di Indonesia, cukup banyak peraturan perundang-undangan yang membebani rakyat dengan berbagai kewajiban tanpa memperhatikan kemampuan masing-masing, misalnya seorang pemilik rumah mewah seluas 1000 m2 akan dibebani kewajiban Pajak Bumi dan Bangunan yang sama dengan seorang pemilik rumah sangat seluas 21 m2 hanya karena terletak bersebelahan.
Mengenai negara hukum dalam kaitan dengan UUD 1945 menurut Moh. Mahfud M.D sebagai ciri pertama dari negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Ciri ini bisa ditemui di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Di dalam Pembukaan alinea I dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945 dapat ditemui beberapa pasal seperti Pasal 27 (persamaan kedudukan setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran), Pasal 29 (jaminan kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat), dan Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan pengajaran).
Dalam Perubahan Kedua UUD 1945 pasal-pasal tersebut telah mengalami perubahan. Khusus Pasal 28 dan 29 perlu diberikan sedikit komentar. Melalui Perubahan Kedua telah ditambahkan Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilik kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28 E ayat (1) ini merupakan bagian dari tambahan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pada saat itu perhatian masyarakat terhadap HAM memang sedang tinggi sehingga MPR merasa perlu memberikan perhatian dan menambahkan beberapa ketentuan ke dalam UUD 1945. Akan tetapi, MPR semestinya berhati-hati dan tidak begitu saja mengikuti arus yang sedang berkembang pada saat itu. Pernyataan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama” dalam konteks HAM dapat berarti bebas untuk tidak beragama. Padahal ketentuan UUD 1945 yang sudah ada, terutama Pasal 29, tidak memungkinkan pilihan ini. Sehubungan dengan itu, jika MPR akan kembalu melakukan perubahan terhadap UUD 1945 maka Pasal 28E ayat (1) ini perlu diubah sehingga sesuai dengan Pasal 29, Pembukaan, dan Pancasila. Mengenai kebebasan beragama lebih tepat pendapat Muhammad Tahir Azhary yang berpendapat bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam Negara Hukum Pancasila:
(1) Kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang positip sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa (ateisme) ataupun sikap yang memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan, seperti terjadi di negara-negara komunis yang membenarkan propaganda anti agama; dan
(2) ada hubungan yang erat antara agama dan negara, karena itu baik secara rigid atau mutlak maupun secara longgar atau nisbi Negara Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Karena doktrin semacam ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ciri kedua dari negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Ciri kedua ini dapat dilihat Pasal 24 UUD1945 yang menegaskan: “Kekuatan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang undang”.
Ciri ketiga dari negara hukum adalah legalitas dalam arti segala bentuk hukum. Segala tindakan seluruh warga negara, baik rakyat biasa maupun penguasa, harus dibenarkan oleh hukum. Di Indonesia sudah ada peraturan yang berisi ketentuan untuk berbagai tindakan. Setiap tindakan harus sah menurut aturan hukum yang ada. Dalam rangka mengamankan ketentuan tersebut di Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan yang dapat memberikan pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang tidak dibenarkan hukum.
Jadi semua landasan yang menjadi ciri dari negara hukum dapat ditemui di dalam UUD 1945. Untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup memberikan jaminan. Yang sering menjadi persoalan adalah pelaksanaannya di lapangan yang kerap kali menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya.
Perbedaan antara ketentuan yang berlaku dengan pelaksanaan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pelaksaan di lapangan memang sering dipengaruhi kebijaksanaan dari pelaksana sesuatu ketentuan sehingga selain istilah rule of law dikenal juga istilah rule of kebijaksanaan. Antara kedua hal ini perlu dilakukan pilihan sehinggan jelas hal yang diinginkan. Tentang rule of kebijaksanaan Sunaryati Hartono berkata sebagai berikut.
Rule of Kebijaksanaan merupakan kenyataan yang menimbulkan ketidakpastian hukum, sedangkan Rule of Law merupakan cita-cita kita untuk menghapuskan keadaan ketidakpastian hukum itu, akan ternyata bahwa kita tidak dapat mengkombinasikan Rule of Kebijaksanaan dengan Rule of Law itu. Kita harus memilih salah satu diantara kedua hal itu. Sebab “the first duty of the law (dalam hal ini tentu artinya “para pembentuk hukum dan political decision-makers”) is to know what it wants”.
Sementara itu menurut Mien Rukmini, negara Indonesia sebagai Negara Hukum harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sebagai suatu Negara Hukum minimal harus mempunyai ciri-ciri tertentu seperti:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/kekuatan lain apapun;
3. Legalitas dari tindakan Negara/Pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.
Di antara para penulis ada yang menghubungkan negara hukum dengan Pancasila. Unsur-unsur Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah:
a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya bersifat merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya.
Selain itu ada yang menghubungan negara hukum dengan tujuan negara. Negara hukum atau rule of law dalam arti yang manakah yang hendak ditegakkan oleh negara Republik Indonesia? Sudah barang tentu, tujuan negara Republik Indonesia yang tercantum dalam kalimat keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”, serta dasar negara Pancasila akan memberikan jawaban yang tepat, bahwa konsep negara hukum atau rule of law dalam arti yang materiillah yang hendak ditegakkan di dalam negara Republik Indonesia.
Ada juga yang mengaitkan negara hukum dengan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan. Negara Indonesia yang diperjuangkan untuk diwujudkan adalah Negara Pancasila dengan ciri-ciri berikut ini.
Pertama-tama, Negara Pancasila adalah negara hukum, yang di dalamnya semua penggunaan kekuasaan harus selalu ada landasan hukumnya dan dalam kerangka batas-batas yang ditetapkan oleh hukum, a fortiori untuk penggunaan kekuasaan publik. Jadi, pemerintahan yang dikehendaki adalah pemerintahan berdasarkan, dengan dan oleh hukum (“rule by law” dan “rule of law”).
Kedua, Negara Pancasila itu adalah negara demokrasi yang dalam keseluruhan kegiatan menegaranya selalu terbuka bagi partisipasi seluruh rakyat, yang di dalamnya pelaksanaan kewenangan dan penggunaan kekuasaan publik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan harus selalu terbuka bagi pengkajian rasional oleh semua pihak dalam kerangka tata nilai dan tatanan hukum yang berlaku. Selain itu, badan kehakiman menjalankan kewenangannya secara bebas, dan birokrasi pemerintahan lain tunduk pada putusan badan kehaki¬man, serta warga masyarakat dapat mengajukan tindakan birokrasi pemerintahan ke pengadilan. Pemerintah terbuka bagi pengkajian-kritis oleh Badan Perwakilan Rakyat dan masyarakat berkenaan dengan kebijakan dan tindakan-tindakannya.
Ketiga, Negara Pancasila adalah organisasi seluruh rakyat yang menata diri secara rasional untuk dalam kebersamaan berikhtiar, dalam kerangka dan melalui tatanan kaidah hukum yang berlaku, mewujudkan kesejah-teraan lahir-batin bagi seluruh rakyat dengan selalu mengacu pada nilai-nilai martabat manusia dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konsepsi Negara Pancasila ini, maka negara dan pemerintah lebih merupakan koordinasi berbagai pusat pengambilan keputusan rasional yang berintikan asas rasionalitas-efisiensi, asas rasionalitas- kewajaran, asas rasionalitas-berkaidah dan asas rasionalitas-nilai, ketimbang organisasi kekuasaan semata-mata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Negara Pancasila yang dicita-citakan adalah negara hukum yang berdasarkan asas kerakyatan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan berkeadilan (keadilan sosial) bagi seluruh rakyat Indonesia serta perdamaian dunia.
Sjachran Basah menamai negara hukum di Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan Pancasila. Negara hukum berdasarkan Pancasila, merupakan negara kemakmuran berdasarkan hukum yang dilandasi oleh Pancasila baik sebagai dasar negara maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menolak absolutisme dalam segala bentuknya.
Dalam kaitan dengan Pancasila menurut Bernard Arief Sidharta dapat dipertimbangkan kemungkinan untuk mengungkapkan konsepsi negara yang demikian ini dengan istilah “Negara Hukum Demokratis Kesejahteraan” untuk menunjuk pada penyempurnaan konsepsi negara “Negara Kesejahteraan” dengan menggabungkannya pada konsepsi “Negara Hukum” dan “Negara Hukum Demokratis”. Dari aspek filsafat, karakteristik negara hukum Indonesia bersumber dari filsafat Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, tercermin pada lima nilai yang terdalam, yaitu nilai-nilai yang terdapat pada lima sila Pancasila.
Mohammad Hatta pernah berkata bahwa apabila kita renungkan UUD 1945 sedalam-dalamnya, bahwa segala yang penting bagi bangsa, apalagi yang ditimpakan kepada rakyat sebagai beban materiil dan idiil, harus berdasarkan Undang-Undang, nyatalah bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna.
La Ode Husen berpendapat bahwa ungkapan “rechtsstaat” dapat diartikan sama dengan “negara yang berdasarkan atas hukum”, juga sering diartikan atau diterjemahkan dengan “negara hukum”. Oleh karena itu, dia lebih cenderung menggunakan ungkapan “negara hukum”, dimaksudkan “rechtsstaat”. Istilah “negara hukum” menurut dia adalah istilah Indonesia, yang mengandung makna yang khas atau paham Indonesia, tanpa harus menambahkan atribut yang lain, setelah kata “negara hukum”.

NEGARA HUKUM

PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM DI INDONESIA

Negara hukum di Indonesia menurut menurut UUD 1945 mengandung prinsip :
• Norma hukum bersumber pada pancasila sebagai hukum dasar nasional dan adanya hierarki jenjang norma hukum
• Sistemnya adalah system konsitusi (adanya pembagian kekuasaan Negara dan pembatasan kekuasaan Negara. Dasar sebagai Negara berdasarkan atas hukum mempunyai sifat nomatif, bukan sekedar asa belaka)
• Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi
• Prinsip persamaan kedudukan hukum dan pemerintahan
• Adanya organ pembentuk UU
• System pemerintahan presidensial
• Adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain
• Jaminan HAM

NEGARA HUKUM

CIRI-CIRI NEGARA HUKUM
• Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechstaat (Eropa Kontinental) dan Rule of Law ((Anglo Saxon).
• Ciri-ciri Rechstaat menurut Friederich Julius Stahl yaitu :
o Hak Asasi Manusia
o Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM
o Pemerintahan berdasarkan undang-undang
o Peradilan tata usaha Negara
• Ciri-ciri Rule Of Law menurut AV Dicey :
o Supremasi hukum
o Kedudukan yang sama didepan hukum
o Terjaminnya HAM dalam UU atau keputusan pengadilan

• Ciri-ciri Negara hukum berdasarkan Rule Of Law :
o Pengakuan & perlindungan hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan budaya.
o Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun.
o Legalitas dalam segala bentuk.
Secara umum negara hukum dikatakan mempunyai empat ciri. Pertama, pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku. Kedua, masyarakat dapat naik banding di pengadilan terhadap keputusan pemerinta dan pemerintah taat terhadap keputusan hakim. Ketiga, hukum sendiri adalah adil dan menjamin hak-hak asasi manusia. Keempat, kekuasaan hakim independen dari kemauan pemerintah. Ciri yang pertama menjamin kepastian hukum dan mencegah kesewenangan penguasa. Ciri kedua menunjukkan bahwa penguasa pun berada di bawah hukum, bahwa penggunaan kekuasaan di negara itu harus dipertanggungjawabkan dan tidak tanpa batas.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam setiap negara hukum selalu harus ada unsur atau ciri-ciri yang khas, yaitu (i) pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia; (ii) adanya peradilan yang bebas, mandiri, dan tidak memihak; (iii) adanya pembagian kekuasaan dalam sistem pengelolaan kekuasaan negara; dan (iv) berlakunya asas legalitas hukum dalam segala bentuknya, yaitu bahwa semua tindakan negara harus didasarkan atas hukum yang sudah dibuat secara demokratis sejak sebelumnya, bahwa hukum yang dibuat itu adalah ‘supreme’ atau di atas segala-galanya, dan bahwa semua orang sama kedudukan-nya di hadapan hukum yang dibuat itu.
Salah satu pemikir terkemuka Eropa yaitu Immanuel Kant menggali lagi ide negara hukum yang sudah dikenal di Yunani pada zaman Plato dengan istilah nomoi. Dalam pandangan Immanuel Kant negara hukum hanya dimanfaatkan untuk menegakkan menegakkan keamanan dan ketertihan di masyarakat (rust en order) sehingga dikenal dengan istilah Negara Jaga Malam (Nachtwakerstaat). Setelah Immanuel Kant muncul Julius Stahl yang mengemukakan bahwa pokok-pokok utama negara hu¬kum (Barat) yang mendasari konsep Negara Hukum yang demokratis ialah:
a. Berdasarkan hak asasi sesuai pandangan individualistik (John Locke cs.);
b. Untuk melindungi hak asasi perlu trias politica Montesquieu dengan segala variasi perkembangannya;
c. Pemerintahannya berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur) dalam Rechtsstaat materiil dan ditambah prinsip doelmatig bestuur di dalam Sociale verzorgingsstaat.
d. Apabila di dalam menjalankan pemerintahan masih dirasa melanggar hak asasi maka harus diadili dengan suatu pengadilan administrasi.

NEGARA HUKUM

SUPREMASI HUKUM
 Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.
 Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
 Dalam suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat.

Dari beberapa pengertian supremasi hukum di atas dapat di sipulkan supremasi hukum itu adalah upaya untuk terciptanya keadilan disebuah Negara hukum yang kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, semua kekuasaan tunduk kepada hukum, dan menjadikan hukum menjadi tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat.
Jadi hukum itu harus di atas semua,karena negara hukum bertujuan kepada hukum.

Sabtu, 21 November 2009

NEGARA HUKUM

NEGARA HUKUM FORMIL DAN MATERIIL

Negara hukum formil adalah negara hukum dalam arti sempit yaitu negara yang membatasi ruang geraknya dan bersifat pasif terhadap kepentingan rakyat negara. Negara tidak campur tangan secara banyak terhadap urusan dan kepentingan warga negara. Urusan ekonomi diserahkan kepada warga dengan dalil laissez faire,laissez aller artinya warga dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya sendiri maka dengan sendirinya perekonomian negara akan sehat.
Negara hukum materiil adalah negara hukum dalam arti luas(modern), pemerintah diberi tugas membangun kesejahteraan diberbagai lapangan kehidupan. Pemerintah diberi Freies Ermessen, yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan ekonomi sosial dan keleluasaan untuk tidak terikat pada produk legislasi parlemen.
Konsep negara material, pemerintah (eksekutif) bahkan bisa memiliki kewenangan legislatif dalam hal :
1. adanya hak inisiatif yaitu hak mengajukan RUU tanpa terlebih dahulu ada persetujuan parlemen meski dibatasi waktu tertentu.
2. hak delegasi yaitu membuat peraturan perundangan dibawah UU
3. droit ermessen yaitu menafsirkan sendiri aturan2 yang masih enunsiatif.
Negara hukum materiil (modern/ welfare state) adalah negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam upaya membangun kesejahteraan rakyat.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiil atau Negara hukum modern . Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiil yaitu ‘the rule of just law’.

Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiil. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.

RULE OF LAW

RULE OF LAW
A. Latar Belakang Rule of Law
Latar belakang kelahiran Rule of Law:
1. Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan Negara.
2. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu Demokrasi Konstitusional.
3. Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum.
Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring dengan negara konstitusi dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man.

Unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey terdiri dari:
o Supremasi aturan-aturan hukum.
o Kedudukan yang sama didalam menghadapi hukum.
o Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.

Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut rule of law adalah:
1. Adanya perlindungan konstitusional.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan kewarganegaraan.

Ada tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil, baik sesame warga Negara maupun pemerintah.
B. Pengertian Rule of Law
Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi dua yaitu:
Pertama, pengertian secara formal (in the formal sence) diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya negara. Kedua, secara hakiki/materiil (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait erat dengan keadilan sehingga harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat.
Rule of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan system peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.

C. Prinsip-prinsip Rule of Law di Indonesia
o Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
a.
bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “eri keadilan”;
b. …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
c. …untuk memajukan “kesejahteraan umum”,…dan “keadilan social”;
d. …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”;
e. “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
f. …serta dengan mewujudkan suatu “eadilan social” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan social.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu :
a. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3),
b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hokum dan keadilan (pasal 24 ayat 1),
c. Segala warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hokum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1),
d. Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hokum (pasal 28 D ayat 1),
e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
o Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) erat kaitannya dengan (penyelenggaraan menyangkut ketentuan-ketentuan hukum) “the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
D. Strategi Pelaksanaan (Pengembangan) Rule of Law
Agar pelaksanaan rule of law bias berjalan dengan yang diharapkan, maka:
a. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa.
b. Rule of law yang merupakan intitusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa.
c. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus ditegakan secara adil juga memihak pada keadilan.
Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif (Setjipto Raharjo: 2004), yang memihak hanya pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi dasar hokum progresif bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Hukum progresif memuat kandungan moral yang kuat.
Arah dan watak hukum yang dibangun harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang bersangkutan atau “back to law and order”, kembali pada hukum dan ketaatan hukum negara yang bersangkutan itu.

Adapun negara yang merupakan negara hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ada pengakuan dan perlindungan hak asasi.
2. Ada peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau kekuatan apapun.
3. Legalitas terwujud dalam segala bentuk.
Contoh: Indonesia adalah salah satu Negara terkorup di dunia (Masyarakat Transparansi Internasional: 2005).

Beberapa kasus dan ilustrasi dalam penegakan rule of law antara lain:
o Kasus korupsi KPU dan KPUD
o Kasus illegal logging
o Kasus dan reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA)
o Kasus-kasus perdagangan narkoba dan psikotripika
o Kasus perdagangan wanita dan anak.