Minggu, 22 November 2009

NEGARA HUKUM

PERWUJUDAN NEGARA HUKUM DI INDONESIA
Meskipun dalam naskah UUD 1945 yang asli tidak ditemukan istilah negara hukum tetapi pencatuman beberapa kalimat dalam Penjelasan merupakan penegasan kalau Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, ciri-ciri umum negara hukum dapat ditemukan dalam UUD 1945. Pertama, pengakuan terhadap hak-hak dan kewajiban warga negara. Kedua, adanya pembagian kekuasaan. Dengan adanya lembaga-lembaga negara menunjukan adanya pembagian kekuasaan. Ketiga, setiap perbuatan atau tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan undang-undang. Keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang bebas.
Jimly Asshiddiqie menyampaikan empat prinsip yang secara bersama-sama merupakan ciri-ciri pokok konsep negara hukum (rechtsstaat) yang dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945 yaitu:
Pembatasan kekuasaan diatur seperti dengan dirumuskannya prinsip pembagian kekuasaan yang tercermin dalam struktur kelembagaan negara baik vertikal maupun horizontal, ide perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak warga-negara, asas legalitas dan prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, prinsip peradilan bebas yang tidak memihak, dan bahkan kemudian dirumuskan pula ide peradilan administrasi untuk memungkinkan warganegara menuntut hak-haknya atas kekuasaan publik.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pemikiran tentang negara hukum pertama-tama berkembang di Eropa. Oleh karena itu, perlu juga mengaitkan pembahasan mengenai negara hukum ini dengan keadaan masyarakat di sana. Teori hukum sendiri secara umum memang tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat tententu. Suatu teori hukum yang terlepas dari konteks masyarakatnya akan menumbuhkan apa yang di dalam kepustakaan Jerman dituangkan melalui ungkapan: Rechtslehre ohne Recht atau teori hukum tanpa kenyataan (keadilan). Tata hukum yang ditumbuhkan berdasarkan nalar hukum seperti itu disebut: Machtloze Normlogiek atau tata hukum tanpa keadilan ataupun kewibawaan. Contoh pembahasan mengenai hal ini adalah penjelasan Soepomo pada rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pada saat itu Soepomo mengemukakan bahwa ada dua cara pandang yang penting untuk melihat hubungan masyarakat dan orang seorang. Pertama ialah cara pandang individualistik atau asas perseorangan yang lebih mementingkan perseorangan daripada organisasi atau masyarakat. Cara pan¬dang ini mendasari teori-teori di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Kedua ialah cara pandang integralistik atau asas kekeluargaan yang mengutamakan masyarakat daripada perseorangan.
Menurut Soepomo, kedua cara tersebut tidak sesuai dengan cara pandang Indonesia. Cara pandang tentang Negara Hukum di Eropa Barat tidak dapat dijadikan dasar (bouwstenen) dalam membentuk konsep Negara Hukum Indonesia. Konsep Negara Hukum Barat hanya sebagai alat perbandingan dalam membentuk konsep Negara Hukum Indonesia. Oleh karena itu, meskipun dalam Penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, namun menurut Muhammad Tahir Azhary konsep rechtsstaat yang dianut Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum sendiri yaitu Negara Hukum Pancasila sendiri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; (2) Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) Kebebasan beragama dalam arti positip; (4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5) Asas kekeluargaan dan kerukunan. Adapun unsur-unsur pokok Negara Hukum RI adalah: (1) Pancasila; (2) MPR; (3) Sistem konstitusi; (4) Persamaan; dan (5) Peradilan bebas.
Terhadap pendapat di atas perlu diberikan catatan sehubungan dengan peranan MPR yang sudah berubah setelah perubahan UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945 memang MPR mempunyai peranan yang lebih penting dari pada lembaga-lembaga negara lain sehingga dikatakan sebagai lembaga negara tertinggi. Akan tetapi, peran itu sudah sangat berkurang setelah perubahan UUD 1945, antara lain MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak lagi dapat dikatakan berkedudukan lebih tinggi dari pada lembaga negara lain.
Perbincangan mengenai negara hukum mencakup hubungan antara hukum dan kekuasaaan. Apakah kekuasaan tunduk pada hukum atau hukum tunduk pada kekuasaan? Menurut cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang bertekad menghapuskan penjajahan dari muka bumi, berikut segala akibatnya, yang diinginkan adalah bahwa Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum di mana kekuasaan tunduk pada hukum.
Cita-cita perjuangan sendiri berhubungan dengan cita hukum. Adapun yang dimaksudkan cita hukum adalah cita hukum (Rechtsidee, Bel.) dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, suatu republik kerakyatan (demokratik) yang didirikan oleh pejuang-pejuang bangsa dengan semboyan “… dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Cita-cita ini dirumuskan secara singkat berarti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum.
Ciri pokok dari cita hukum Negara Republik Indonesia adalah kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada hukum. Secara popular dikatakan bahwa negara hukum adalah negara berdasarkan hukum, di mana kekuasaan tunduk pada hukum. Prinsip-prinsip lain yang berkaitan dengan prinsip pokok di atas dan salah satu yang terpenting adalah bahwa dalam negara hukum semua orang sama di hadapan hukum. Dikatakan secara lain ini berarti bahwa hukum memperlakukan semua orang sama tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama, kedudukan sosial, dan kekayaan.
Terhadap pendapat Mochtar Kusumaatmaadja dan B Arief Sidharta tersebut perlu diberikan sedikit catatan agar tidak menimbulkan keraguan bahkan kesalahan dalam penerapan. Persamaan di hadapan hukum tidak dapat diartikan tidak boleh lagi ada perbedaan perlakuan. Dalam hal-hal tertentu tetap mesti ada perbedaan perlakuan. Sebagai contoh, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sudah sepatutnya orang yang mempunyai kekayaan lebih banyak dibebani kewajiban yang lebih besar. Kenyataan yang terjadi di Indonesia, cukup banyak peraturan perundang-undangan yang membebani rakyat dengan berbagai kewajiban tanpa memperhatikan kemampuan masing-masing, misalnya seorang pemilik rumah mewah seluas 1000 m2 akan dibebani kewajiban Pajak Bumi dan Bangunan yang sama dengan seorang pemilik rumah sangat seluas 21 m2 hanya karena terletak bersebelahan.
Mengenai negara hukum dalam kaitan dengan UUD 1945 menurut Moh. Mahfud M.D sebagai ciri pertama dari negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Ciri ini bisa ditemui di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Di dalam Pembukaan alinea I dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945 dapat ditemui beberapa pasal seperti Pasal 27 (persamaan kedudukan setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran), Pasal 29 (jaminan kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat), dan Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan pengajaran).
Dalam Perubahan Kedua UUD 1945 pasal-pasal tersebut telah mengalami perubahan. Khusus Pasal 28 dan 29 perlu diberikan sedikit komentar. Melalui Perubahan Kedua telah ditambahkan Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilik kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28 E ayat (1) ini merupakan bagian dari tambahan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pada saat itu perhatian masyarakat terhadap HAM memang sedang tinggi sehingga MPR merasa perlu memberikan perhatian dan menambahkan beberapa ketentuan ke dalam UUD 1945. Akan tetapi, MPR semestinya berhati-hati dan tidak begitu saja mengikuti arus yang sedang berkembang pada saat itu. Pernyataan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama” dalam konteks HAM dapat berarti bebas untuk tidak beragama. Padahal ketentuan UUD 1945 yang sudah ada, terutama Pasal 29, tidak memungkinkan pilihan ini. Sehubungan dengan itu, jika MPR akan kembalu melakukan perubahan terhadap UUD 1945 maka Pasal 28E ayat (1) ini perlu diubah sehingga sesuai dengan Pasal 29, Pembukaan, dan Pancasila. Mengenai kebebasan beragama lebih tepat pendapat Muhammad Tahir Azhary yang berpendapat bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam Negara Hukum Pancasila:
(1) Kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang positip sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa (ateisme) ataupun sikap yang memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan, seperti terjadi di negara-negara komunis yang membenarkan propaganda anti agama; dan
(2) ada hubungan yang erat antara agama dan negara, karena itu baik secara rigid atau mutlak maupun secara longgar atau nisbi Negara Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Karena doktrin semacam ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ciri kedua dari negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Ciri kedua ini dapat dilihat Pasal 24 UUD1945 yang menegaskan: “Kekuatan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang undang”.
Ciri ketiga dari negara hukum adalah legalitas dalam arti segala bentuk hukum. Segala tindakan seluruh warga negara, baik rakyat biasa maupun penguasa, harus dibenarkan oleh hukum. Di Indonesia sudah ada peraturan yang berisi ketentuan untuk berbagai tindakan. Setiap tindakan harus sah menurut aturan hukum yang ada. Dalam rangka mengamankan ketentuan tersebut di Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan yang dapat memberikan pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang tidak dibenarkan hukum.
Jadi semua landasan yang menjadi ciri dari negara hukum dapat ditemui di dalam UUD 1945. Untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup memberikan jaminan. Yang sering menjadi persoalan adalah pelaksanaannya di lapangan yang kerap kali menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya.
Perbedaan antara ketentuan yang berlaku dengan pelaksanaan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pelaksaan di lapangan memang sering dipengaruhi kebijaksanaan dari pelaksana sesuatu ketentuan sehingga selain istilah rule of law dikenal juga istilah rule of kebijaksanaan. Antara kedua hal ini perlu dilakukan pilihan sehinggan jelas hal yang diinginkan. Tentang rule of kebijaksanaan Sunaryati Hartono berkata sebagai berikut.
Rule of Kebijaksanaan merupakan kenyataan yang menimbulkan ketidakpastian hukum, sedangkan Rule of Law merupakan cita-cita kita untuk menghapuskan keadaan ketidakpastian hukum itu, akan ternyata bahwa kita tidak dapat mengkombinasikan Rule of Kebijaksanaan dengan Rule of Law itu. Kita harus memilih salah satu diantara kedua hal itu. Sebab “the first duty of the law (dalam hal ini tentu artinya “para pembentuk hukum dan political decision-makers”) is to know what it wants”.
Sementara itu menurut Mien Rukmini, negara Indonesia sebagai Negara Hukum harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sebagai suatu Negara Hukum minimal harus mempunyai ciri-ciri tertentu seperti:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/kekuatan lain apapun;
3. Legalitas dari tindakan Negara/Pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.
Di antara para penulis ada yang menghubungkan negara hukum dengan Pancasila. Unsur-unsur Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah:
a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya bersifat merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya.
Selain itu ada yang menghubungan negara hukum dengan tujuan negara. Negara hukum atau rule of law dalam arti yang manakah yang hendak ditegakkan oleh negara Republik Indonesia? Sudah barang tentu, tujuan negara Republik Indonesia yang tercantum dalam kalimat keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”, serta dasar negara Pancasila akan memberikan jawaban yang tepat, bahwa konsep negara hukum atau rule of law dalam arti yang materiillah yang hendak ditegakkan di dalam negara Republik Indonesia.
Ada juga yang mengaitkan negara hukum dengan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan. Negara Indonesia yang diperjuangkan untuk diwujudkan adalah Negara Pancasila dengan ciri-ciri berikut ini.
Pertama-tama, Negara Pancasila adalah negara hukum, yang di dalamnya semua penggunaan kekuasaan harus selalu ada landasan hukumnya dan dalam kerangka batas-batas yang ditetapkan oleh hukum, a fortiori untuk penggunaan kekuasaan publik. Jadi, pemerintahan yang dikehendaki adalah pemerintahan berdasarkan, dengan dan oleh hukum (“rule by law” dan “rule of law”).
Kedua, Negara Pancasila itu adalah negara demokrasi yang dalam keseluruhan kegiatan menegaranya selalu terbuka bagi partisipasi seluruh rakyat, yang di dalamnya pelaksanaan kewenangan dan penggunaan kekuasaan publik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan harus selalu terbuka bagi pengkajian rasional oleh semua pihak dalam kerangka tata nilai dan tatanan hukum yang berlaku. Selain itu, badan kehakiman menjalankan kewenangannya secara bebas, dan birokrasi pemerintahan lain tunduk pada putusan badan kehaki¬man, serta warga masyarakat dapat mengajukan tindakan birokrasi pemerintahan ke pengadilan. Pemerintah terbuka bagi pengkajian-kritis oleh Badan Perwakilan Rakyat dan masyarakat berkenaan dengan kebijakan dan tindakan-tindakannya.
Ketiga, Negara Pancasila adalah organisasi seluruh rakyat yang menata diri secara rasional untuk dalam kebersamaan berikhtiar, dalam kerangka dan melalui tatanan kaidah hukum yang berlaku, mewujudkan kesejah-teraan lahir-batin bagi seluruh rakyat dengan selalu mengacu pada nilai-nilai martabat manusia dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konsepsi Negara Pancasila ini, maka negara dan pemerintah lebih merupakan koordinasi berbagai pusat pengambilan keputusan rasional yang berintikan asas rasionalitas-efisiensi, asas rasionalitas- kewajaran, asas rasionalitas-berkaidah dan asas rasionalitas-nilai, ketimbang organisasi kekuasaan semata-mata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Negara Pancasila yang dicita-citakan adalah negara hukum yang berdasarkan asas kerakyatan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan berkeadilan (keadilan sosial) bagi seluruh rakyat Indonesia serta perdamaian dunia.
Sjachran Basah menamai negara hukum di Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan Pancasila. Negara hukum berdasarkan Pancasila, merupakan negara kemakmuran berdasarkan hukum yang dilandasi oleh Pancasila baik sebagai dasar negara maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menolak absolutisme dalam segala bentuknya.
Dalam kaitan dengan Pancasila menurut Bernard Arief Sidharta dapat dipertimbangkan kemungkinan untuk mengungkapkan konsepsi negara yang demikian ini dengan istilah “Negara Hukum Demokratis Kesejahteraan” untuk menunjuk pada penyempurnaan konsepsi negara “Negara Kesejahteraan” dengan menggabungkannya pada konsepsi “Negara Hukum” dan “Negara Hukum Demokratis”. Dari aspek filsafat, karakteristik negara hukum Indonesia bersumber dari filsafat Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, tercermin pada lima nilai yang terdalam, yaitu nilai-nilai yang terdapat pada lima sila Pancasila.
Mohammad Hatta pernah berkata bahwa apabila kita renungkan UUD 1945 sedalam-dalamnya, bahwa segala yang penting bagi bangsa, apalagi yang ditimpakan kepada rakyat sebagai beban materiil dan idiil, harus berdasarkan Undang-Undang, nyatalah bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna.
La Ode Husen berpendapat bahwa ungkapan “rechtsstaat” dapat diartikan sama dengan “negara yang berdasarkan atas hukum”, juga sering diartikan atau diterjemahkan dengan “negara hukum”. Oleh karena itu, dia lebih cenderung menggunakan ungkapan “negara hukum”, dimaksudkan “rechtsstaat”. Istilah “negara hukum” menurut dia adalah istilah Indonesia, yang mengandung makna yang khas atau paham Indonesia, tanpa harus menambahkan atribut yang lain, setelah kata “negara hukum”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar